Jadi Pengusaha Hanya Perlu Otak Kanan?
Sebelum mulai, maaf bila tulisan
ini menyinggung salah satu pihak. Terus-terang saja, saya adalah orang
yang menentang habis provokasi motivator untuk menggunakan “hanya otak
kanan” bila ingin jadi pengusaha. Ini bukan berarti “otak kanan” tidak
perlu. Kita sebagai manusia sudah dianugerahi otak yang terdiri dari
“otak kanan” dan “otak kiri” (patut dicatat bahwa otak tengah secara
medis dan
anatomis itu tidak ada, cuma marketing trick bullshit), jadi kita
justru harus dan wajib menggunakan keduanya. Kalau tidak pakai otak,
nanti malah jadi otak-otak. Halah!
Kembali ke laptop, “otak kanan” yang
dimaksud di sini didikotomiskan secara arbitrer dengan “otak kiri”. Saya
mengutip penjelasan dari Pink (2012:13-14): “Otak-otak kita dibagi ke
dalam dua belahan. Belahan otak sebelah kiri adalah berurutan, logis,
dan analitis. Belahan otak sebelah kanan adalah non-liner, intuitif, dan
holistik.” Selama ini, pendidikan dan sistem sosial kita dianggap
terlalu mengedepankan “otak kiri”. Maka, beberapa motivator melakukan
“reverse psychology” atau psikologi pembalikan. Mereka justru begitu
mendewakan “otak kanan”. Mari kita simak apa kata Ippho Santosa yang
menjuluki dirinya sebagai “Mr.Right”. Di salah satu bukunya, Ippho
(2012:XXIX) menjelaskan:
“Malah dalam bahasa Inggris kebetulan
kata ‘kanan’ dan kata ‘benar’ sama-sama diterjemahkan menjadi ‘right’.
Maka, bolehlah saya berasumsi bahwa kanan itu hampir selalu benar.
Right?”
Di bagian lain, Ippho (2012:XXXVI)
menegaskan: “Dengan sepenuh hati pakar-pakar manajemen pun percaya hanya
fungsi inovasi dan pemasaran yang penting bagi perusahaan.
Fungsi-fungsi lainnya adalah biaya. Dengan kata lain, hanya
fungsi-fungsi kanan yang penting bagi perusahaan. Fungsi-fungsi kiri
adalah biaya. Tolong digarisbawahi tebal-tebal.”
“Otak kanan” diperlukan untuk
menumbuhkan keberanian, mental pejuang, dan kemauan untuk memulai suatu
hal baru. Tentu, yang tak kalah pentingnya adalah kreativitas. Bila saat
memulai usaha kita terlalu banyak perhitungan teknis, niscaya kita
tidak akan mulai. Tapi, sekali lagi, itu bila masih dalam batas
toleransi kemampuan kita. Kalau kita usaha makanan rumahan, bolehlah
“bondo nekat”. Tapi kalau kita musti membeli mesin produksinya dari luar
negeri, apalagi dengan “duit utangan”, jelas harus dihitung cermat.
Intinya, kita harus menghitung kebutuhan hidup kita hingga lima tahun ke
depan saat memulai usaha. Karena tidak mungkin sebuah usaha baru akan
langsung booming, kecuali ada faktor luck yang besar seperti Anda bisa
dapat lokasi usaha strategis dengan harga murah.
Di sinilah peran “otak kanan” yang
memaksa diri untuk memulai langkah baru sangat kuat. Keberanian
cenderung nekat merupakan satu jalan yang dianjurkan “otak kanan”.
Bahkan keberanian untuk meminjam uang modal pada siapa pun merupakan
peran “otak kanan”.
Omong-kosong kalau bilang usaha tidak
perlu modal, apalagi modal kapital atau uang. Saya bilang buka usaha lho
ya, bukan berbisnis atau berdagang, apalagi jadi calo atau makelar.
Buka usaha ini merupakan langkah awal menjadi pengusaha. Bisa jadi
uangnya bukan punya sendiri, tapi hutang sana-sini atau saweran. Tapi
tetap perlu uang dong? Bisa jadi bukan berbentuk uang tunai, tapi yang
bisa dinilai dengan uang secara pasti, misalnya bangunan kantor atau
peralatan kerja. Ini juga modal bukan?
Juga jangan tertipu pada provokasi
“hanya otak kanan” atau “cara gila” apabila posisi dalam hidup Anda
tidak aman. Saya berkali-kali mendapati –langsung atau tidak langsung-
kasus seorang suami dan ayah nekat keluar dari pekerjaan tetapnya untuk
membuka usaha baru. Bermodal tabungan dari gaji saat masih bekerja
–katakanlah selama 15 tahun- ia yakin akan cukup. Padahal, saat itu ia
yang sudah punya anak harus mencukupi keluarga. Istrinya tidak bekerja,
orangtua dan mertuanya serta keluarga besarnya bukan orang berada. Ia
mulai usaha
dengan membeli franchise yang
menghabiskan setengah tabungannya. Setengah tabungan sisanya ia pakai
untuk bayar sewa tempat, bayar gaji pegawai, bayar listrik, dan
operasional lainnya. Ternyata, lokasinya tidak bagus dan usahanya
bangkrut. Apa akibatnya? Babak-belur.
“Cara gila” itu cuma bisa kalau posisi
dalam hidup Anda sangat aman. Misalnya Anda sudah bekerja puluhan tahun
sehingga tabungan numpuk dan anak-anak sudah mentas semua. Atau meski
Anda muda tapi orangtua Anda kaya-raya. Atau pasangan Anda masih bekerja
dengan gaji tinggi. Atau keluarga Anda sangat mendukung dan sayang Anda
sehingga apa pun pasti diberikan termasuk utangan.
Argumen Ippho yang saya kutip di atas
juga lemah. Pertama, “pakar-pakar manajemen” yang dikutipnya anonim,
tidak jelas. Kedua, kalau benar hanya inovasi dan pemasaran yang
penting, lalu perusahaan membuat apa? Katakanlah dua hal itu berhasil,
lalu orang tertarik membeli, lantas apa yang mau dijual kalau produknya
tidak ada? Pengarus-utamaan “otak kanan” hanya mungkin bila
fungsi-fungsi perusahaan sudah berjalan sebagaimana mestinya secara
otomatis. Dan itu adalah fungsi-fungsi yang disebut sebagai fungsi “otak
kiri” tadi.
Jelas ada aspek-aspek lain yang
diperlukan pengusaha justru hanya bisa dengan “otak kiri”. Dan kerapkali
ini justru lebih penting. Sebutlah seperti pencatatan keuangan atau
akuntansi, juga prosedur dan sistem kerja. Bayangkan kalau seorang
pengusaha makanan atau pakaian selalu menggunakan “otak kanan” saat
berproduksi, bisa-bisa setiap makanan takaran bahannya tidak sama atau
kain yang digunakan untuk membuat pakaian selalu beda warna dan corak.
Itu karena tak ada prosedur dan sistem yang tetap dan dibakukan.
Di sini, “otak kiri” berperan sebagai penjaga koridor dari “otak kanan”
yang kerapkali nyeleneh. Mereka yang terlalu kanan niscaya tidak akan
berhasil ke ‘puncak karier’. Satu contoh profesi otak kanan adalah para
seniman, apa pun bidangnya. Kita ambil contoh saja pemain teater. Kalau
ia terlalu kanan, niscaya ia akan tidak teratur latihan, terlalu
improvisasi sehingga tidak bisa taat pada naskah, dan sebagainya.
Diperlukan “otak kiri” untuk mendisiplinkan diri dengan keteraturan dan
fokus pada tujuan.
Ada yang bilang, “Ah, untuk urusan teknis seperti itu sih gaji orang saja. Bukankah banyak ahli di luar sana?” Ini antara lain dituliskan Purdi E. Chandra (2011:31): “Kepandaian akan diperlukan bila usaha kita sudah berjalan, dan itu bisa kita dapatkan dengan mengikuti kuliah lagi, atau kita bisa membayar orang-orang pandai sebagai karyawan atau konsultan.”
Ada yang bilang, “Ah, untuk urusan teknis seperti itu sih gaji orang saja. Bukankah banyak ahli di luar sana?” Ini antara lain dituliskan Purdi E. Chandra (2011:31): “Kepandaian akan diperlukan bila usaha kita sudah berjalan, dan itu bisa kita dapatkan dengan mengikuti kuliah lagi, atau kita bisa membayar orang-orang pandai sebagai karyawan atau konsultan.”
OK. Itu kalau Anda punya uang cukup untuk menggajinya. Seorang manajer
ahli yang handal, gajinya nolnya tujuh, ditambah satu angka di depannya,
jadi sebutannya delapan digit. Itu belum dihitung komisi dan bonus
lain. Apakah UMK (Usaha Mikro Kecil) yang baru mulai (start-up) mampu
mengeluarkan uang sebanyak itu untuk menggaji hanya satu orang? Dengan
uang yang sama, bahkan dengan UMP (Upah Minimum Provinsi) yang baru,
bisa untuk menggaji lebih banyak pekerja yang jelas kompetensinya di
bawah itu. Gaji seorang ahli bisa untuk biaya membeli bahan baku sekian
banyak, bisa untuk bayar listrik sekian bulan, bahkan bisa untuk sewa
tempat kalau yang nolnya sudah delapan (gaji sembilan digit) atau malah
sembilan (gaji sepuluh digit). Tidak logis kan? (Nah, logis itu “otak
kiri”).
Pengusaha di tahap awal (start up), kecuali ia mulai dengan modal
kapital atau uang yang besar, harus mengatasi semuanya sendiri. Kalau
cuma “otak kanan” yang difungsikan, ia niscaya tidak tahu kapan harus
membeli bahan baku, tidak mengerti bagaimana menetapkan standar
produksi, tidak bisa menetapkan harga jual agar menutup modal, tidak
mampu mengelola keuangan, bahkan tidak mampu menghitung pajak sendiri.
Terbukti, banyak pengusaha yang
menggunakan pola “hanya otak kanan” kejeblos. Mereka nekat mencari
hutang dari kanan-kiri, namun tidak memperhitungkan kemampuan membayar
di kemudian hari. Kalau cuma hutang kepada traditional angel investor
sih masih mending. Paling akibatnya cuma mengakibatkan kemaluan (Hayo!
Jangan ngeres, baca artikel saya berjudul “Seberapa Besar Kemaluan Anda”
di sini) kalau bertemu. Respon kita paling menghindari acara semacam
arisan keluarga atau reuni.
Akan tetapi sangat berbahaya bila
berhutang kredit kepada lembaga pembiayaan. Akibatnya bisa panjang.
Mulai dari didatangi debt collector yang uhuhuy galaknya dan
berpenampilan “siap makan orang” sampai ditangkap polisi dan dijebloskan
ke penjara dengan tuduhan penipuan atau wanprestasi.
Mereka yang seperti ini biasanya ‘asal mulai’ dan meremehkan perhitungan bisnis yang sangat “otak kiri”.
Bahkan seorang penganjur utama “hanya otak kanan” di Indonesia kini berhadapan dengan hukum. Ia dipailitkan oleh debiturnya karena gagal bayar kredit dalam jumlah besar. Silahkan googling untuk tahu siapa dia dan bagaimana kasusnya. Maaf saya tidak bisa menuliskan di sini karena bisa berujung pada tuntutan hukum pencemaran nama baik dan secara agama juga ghibbah.
Bahkan seorang penganjur utama “hanya otak kanan” di Indonesia kini berhadapan dengan hukum. Ia dipailitkan oleh debiturnya karena gagal bayar kredit dalam jumlah besar. Silahkan googling untuk tahu siapa dia dan bagaimana kasusnya. Maaf saya tidak bisa menuliskan di sini karena bisa berujung pada tuntutan hukum pencemaran nama baik dan secara agama juga ghibbah.
Sebenarnya, kedua belahan otak perlu,
bahkan Ippho pun mengakuinya. “Otak kanan” diperlukan saat baru akan
memulai usaha karena di situlah terletak kemauan dan keberanian serta
unsur kreativitas. Saat usaha berkembang dan memerlukan inovasi baik
berupa diversifikasi produk ataupun ekspansi, “otak kanan” juga berperan
besar. Namun, untuk menjalankan usaha supaya sustain dan growing,
diperlukan “otak kiri” secara intensif dan berkesinambungan. Di situlah
terletak keteraturan, prosedur dan sistem kerja serta aneka hal lain
yang memerlukan ketaatazasan. Apalagi kalau perusahaan kita mau
go-public, masuk ke pasar global (ada prosedur ekspor-impor dsb.) atau
mendapatkan standarisasi internasional (ISO). Itu “otak kiri” banget!
Kembali mensintesakan pemikiran Pink, saya cuma sedikit mengingatkan
tugas otak kanan dan kiri sebenarnya saling melengkapi. Tentu
penggambaran Pink (2012:33-40), ini hanya garis besar saja:
Otak Kiri
|
Otak Kanan
|
Mengontrol bagian tubuh sebelah kanan
|
Mengontrol bagian tubuh sebelah kiri
|
Bersifat berurutan
|
Bersifat simultan
|
Mengkhususkan pada teks
|
Mengkhususkan pada konteks
|
Menganalisa rincian-rincian (termasuk kategori)
|
Mensintesiskan keseluruhan perspektif tentang sesuatu (termasuk hubungan)
|
Karena
itu, bagi saya, menjadi pengusaha itu berarti memaksimalkan kedua
fungsi otak. Bergantian, berkesinambungan. Jadi seperti gerak jalan
aba-abanya: “kiri-kanan-kiri-kanan,tuk-wak-tuk-wak!”
Referensi:
- Chandra, Purdi E. Cara Gila Jadi Pengusaha: Virus Entrepreneur Jadi Pengusaha Sukses! Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011 (cetakan ke-14).
- Pink, Daniel H. Misteri Otak Kanan Manusia (diterjemahkan dari A Whole New Mind oleh Rusli). Yogyakarta: Think, 2012 (cetakan ke-24).
- Santosa, Ippho. 13 Wasiat Terlarang: Dahsyat Dengan Otak Kanan. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012 (cetakan ke-22)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar