RSS

Pages

Kamis, 17 Juli 2014

Jadi Pengusaha Hanya Perlu Otak Kanan?

Jadi Pengusaha Hanya Perlu Otak Kanan?

Jadi Pengusaha Hanya Perlu Otak Kanan?

Sebelum mulai, maaf bila tulisan ini menyinggung salah satu pihak. Terus-terang saja, saya adalah orang yang menentang habis provokasi motivator untuk menggunakan “hanya otak kanan” bila ingin jadi pengusaha. Ini bukan berarti “otak kanan” tidak perlu. Kita sebagai manusia sudah dianugerahi otak yang terdiri dari “otak kanan” dan “otak kiri” (patut dicatat bahwa otak tengah secara
medis dan anatomis itu tidak ada, cuma marketing trick bullshit), jadi kita justru harus dan wajib menggunakan keduanya. Kalau tidak pakai otak, nanti malah jadi otak-otak. Halah!
Kembali ke laptop, “otak kanan” yang dimaksud di sini didikotomiskan secara arbitrer dengan “otak kiri”. Saya mengutip penjelasan dari Pink (2012:13-14): “Otak-otak kita dibagi ke dalam dua belahan. Belahan otak sebelah kiri adalah berurutan, logis, dan analitis. Belahan otak sebelah kanan adalah non-liner, intuitif, dan holistik.” Selama ini, pendidikan dan sistem sosial kita dianggap terlalu mengedepankan “otak kiri”. Maka, beberapa motivator melakukan “reverse psychology” atau psikologi pembalikan. Mereka justru begitu mendewakan “otak kanan”. Mari kita simak apa kata Ippho Santosa yang menjuluki dirinya sebagai “Mr.Right”. Di salah satu bukunya, Ippho (2012:XXIX) menjelaskan:
“Malah dalam bahasa Inggris kebetulan kata ‘kanan’ dan kata ‘benar’ sama-sama diterjemahkan menjadi ‘right’. Maka, bolehlah saya berasumsi bahwa kanan itu hampir selalu benar. Right?”
Di bagian lain, Ippho (2012:XXXVI) menegaskan: “Dengan sepenuh hati pakar-pakar manajemen pun percaya hanya fungsi inovasi dan pemasaran yang penting bagi perusahaan. Fungsi-fungsi lainnya adalah biaya. Dengan kata lain, hanya fungsi-fungsi kanan yang penting bagi perusahaan. Fungsi-fungsi kiri adalah biaya. Tolong digarisbawahi tebal-tebal.”
“Otak kanan” diperlukan untuk menumbuhkan keberanian, mental pejuang, dan kemauan untuk memulai suatu hal baru. Tentu, yang tak kalah pentingnya adalah kreativitas. Bila saat memulai usaha kita terlalu banyak perhitungan teknis, niscaya kita tidak akan mulai. Tapi, sekali lagi, itu bila masih dalam batas toleransi kemampuan kita. Kalau kita usaha makanan rumahan, bolehlah “bondo nekat”. Tapi kalau kita musti membeli mesin produksinya dari luar negeri, apalagi dengan “duit utangan”, jelas harus dihitung cermat. Intinya, kita harus menghitung kebutuhan hidup kita hingga lima tahun ke depan saat memulai usaha. Karena tidak mungkin sebuah usaha baru akan langsung booming, kecuali ada faktor luck yang besar seperti Anda bisa dapat lokasi usaha strategis dengan harga murah.
Di sinilah peran “otak kanan” yang memaksa diri untuk memulai langkah baru sangat kuat. Keberanian cenderung nekat merupakan satu jalan yang dianjurkan “otak kanan”. Bahkan keberanian untuk meminjam uang modal pada siapa pun merupakan peran “otak kanan”.
Omong-kosong kalau bilang usaha tidak perlu modal, apalagi modal kapital atau uang. Saya bilang buka usaha lho ya, bukan berbisnis atau berdagang, apalagi jadi calo atau makelar. Buka usaha ini merupakan langkah awal menjadi pengusaha. Bisa jadi uangnya bukan punya sendiri, tapi hutang sana-sini atau saweran. Tapi tetap perlu uang dong? Bisa jadi bukan berbentuk uang tunai, tapi yang bisa dinilai dengan uang secara pasti, misalnya bangunan kantor atau peralatan kerja. Ini juga modal bukan?
Juga jangan tertipu pada provokasi “hanya otak kanan” atau “cara gila” apabila posisi dalam hidup Anda tidak aman. Saya berkali-kali mendapati –langsung atau tidak langsung- kasus seorang suami dan ayah nekat keluar dari pekerjaan tetapnya untuk membuka usaha baru. Bermodal tabungan dari gaji saat masih bekerja –katakanlah selama 15 tahun- ia yakin akan cukup. Padahal, saat itu ia yang sudah punya anak harus mencukupi keluarga. Istrinya tidak bekerja, orangtua dan mertuanya serta keluarga besarnya bukan orang berada. Ia mulai usaha
dengan membeli franchise yang menghabiskan setengah tabungannya. Setengah tabungan sisanya ia pakai untuk bayar sewa tempat, bayar gaji pegawai, bayar listrik, dan operasional lainnya. Ternyata, lokasinya tidak bagus dan usahanya bangkrut. Apa akibatnya? Babak-belur.
 “Cara gila” itu cuma bisa kalau posisi dalam hidup Anda sangat aman. Misalnya Anda sudah bekerja puluhan tahun sehingga tabungan numpuk dan anak-anak sudah mentas semua. Atau meski Anda muda tapi orangtua Anda kaya-raya. Atau pasangan Anda masih bekerja dengan gaji tinggi. Atau keluarga Anda sangat mendukung dan sayang Anda sehingga apa pun pasti diberikan termasuk utangan.
Argumen Ippho yang saya kutip di atas juga lemah. Pertama, “pakar-pakar manajemen” yang dikutipnya anonim, tidak jelas. Kedua, kalau benar hanya inovasi dan pemasaran yang penting, lalu perusahaan membuat apa? Katakanlah dua hal itu berhasil, lalu orang tertarik membeli, lantas apa yang mau dijual kalau produknya tidak ada? Pengarus-utamaan “otak kanan” hanya mungkin bila fungsi-fungsi perusahaan sudah berjalan sebagaimana mestinya secara otomatis. Dan itu adalah fungsi-fungsi yang disebut sebagai fungsi “otak kiri” tadi.
Jelas ada aspek-aspek lain yang diperlukan pengusaha justru hanya bisa dengan “otak kiri”. Dan kerapkali ini justru lebih penting. Sebutlah seperti pencatatan keuangan atau akuntansi, juga prosedur dan sistem kerja. Bayangkan kalau seorang pengusaha makanan atau pakaian selalu menggunakan “otak kanan” saat berproduksi, bisa-bisa setiap makanan takaran bahannya tidak sama atau kain yang digunakan untuk membuat pakaian selalu beda warna dan corak. Itu karena tak ada prosedur dan sistem yang tetap dan dibakukan.
Di sini, “otak kiri” berperan sebagai penjaga koridor dari “otak kanan” yang kerapkali nyeleneh. Mereka yang terlalu kanan niscaya tidak akan berhasil ke ‘puncak karier’. Satu contoh profesi otak kanan adalah para seniman, apa pun bidangnya. Kita ambil contoh saja pemain teater. Kalau ia terlalu kanan, niscaya ia akan tidak teratur latihan, terlalu improvisasi sehingga tidak bisa taat pada naskah, dan sebagainya. Diperlukan “otak kiri” untuk mendisiplinkan diri dengan keteraturan dan fokus pada tujuan.
Ada yang bilang, “Ah, untuk urusan teknis seperti itu sih gaji orang saja. Bukankah banyak ahli di luar sana?” Ini antara lain dituliskan Purdi E. Chandra (2011:31): “Kepandaian akan diperlukan bila usaha kita sudah berjalan, dan itu bisa kita dapatkan dengan mengikuti kuliah lagi, atau kita bisa membayar orang-orang pandai sebagai karyawan atau konsultan.”
OK. Itu kalau Anda punya uang cukup untuk menggajinya. Seorang manajer ahli yang handal, gajinya nolnya tujuh, ditambah satu angka di depannya, jadi sebutannya delapan digit. Itu belum dihitung komisi dan bonus lain. Apakah UMK (Usaha Mikro Kecil) yang baru mulai (start-up) mampu mengeluarkan uang sebanyak itu untuk menggaji hanya satu orang? Dengan uang yang sama, bahkan dengan UMP (Upah Minimum Provinsi) yang baru, bisa untuk menggaji lebih banyak pekerja yang jelas kompetensinya di bawah itu. Gaji seorang ahli bisa untuk biaya membeli bahan baku sekian banyak, bisa untuk bayar listrik sekian bulan, bahkan bisa untuk sewa tempat kalau yang nolnya sudah delapan (gaji sembilan digit) atau malah sembilan (gaji sepuluh digit). Tidak logis kan? (Nah, logis itu “otak kiri”).
Pengusaha di tahap awal (start up), kecuali ia mulai dengan modal kapital atau uang yang besar, harus mengatasi semuanya sendiri. Kalau cuma “otak kanan” yang difungsikan, ia niscaya tidak tahu kapan harus membeli bahan baku, tidak mengerti bagaimana menetapkan standar produksi, tidak bisa menetapkan harga jual agar menutup modal, tidak mampu mengelola keuangan, bahkan tidak mampu menghitung pajak sendiri.
Terbukti, banyak pengusaha yang menggunakan pola “hanya otak kanan” kejeblos. Mereka nekat mencari hutang dari kanan-kiri, namun tidak memperhitungkan kemampuan membayar di kemudian hari. Kalau cuma hutang kepada traditional angel investor sih masih mending. Paling akibatnya cuma mengakibatkan kemaluan (Hayo! Jangan ngeres, baca artikel saya berjudul “Seberapa Besar Kemaluan Anda” di sini) kalau bertemu. Respon kita paling menghindari acara semacam arisan keluarga atau reuni.
Akan tetapi sangat berbahaya bila berhutang kredit kepada lembaga pembiayaan. Akibatnya bisa panjang. Mulai dari didatangi debt collector yang uhuhuy galaknya dan berpenampilan “siap makan orang” sampai ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan penipuan atau wanprestasi.
Mereka yang seperti ini biasanya ‘asal mulai’ dan meremehkan perhitungan bisnis yang sangat “otak kiri”.
Bahkan seorang penganjur utama “hanya otak kanan” di Indonesia kini berhadapan dengan hukum. Ia dipailitkan oleh debiturnya karena gagal bayar kredit dalam jumlah besar. Silahkan googling untuk tahu siapa dia dan bagaimana kasusnya. Maaf saya tidak bisa menuliskan di sini karena bisa berujung pada tuntutan hukum pencemaran nama baik dan secara agama juga ghibbah.
Sebenarnya, kedua belahan otak perlu, bahkan Ippho pun mengakuinya. “Otak kanan” diperlukan saat baru akan memulai usaha karena di situlah terletak kemauan dan keberanian serta unsur kreativitas. Saat usaha berkembang dan memerlukan inovasi baik berupa diversifikasi produk ataupun ekspansi, “otak kanan” juga berperan besar. Namun, untuk menjalankan usaha supaya sustain dan growing, diperlukan “otak kiri” secara intensif dan berkesinambungan. Di situlah terletak keteraturan, prosedur dan sistem kerja serta aneka hal lain yang memerlukan ketaatazasan. Apalagi kalau perusahaan kita mau go-public, masuk ke pasar global (ada prosedur ekspor-impor dsb.) atau mendapatkan standarisasi internasional (ISO). Itu “otak kiri” banget!
Kembali mensintesakan pemikiran Pink, saya cuma sedikit mengingatkan tugas otak kanan dan kiri sebenarnya saling melengkapi. Tentu penggambaran Pink (2012:33-40), ini hanya garis besar saja:

Otak Kiri
Otak Kanan
Mengontrol bagian tubuh sebelah kanan
Mengontrol bagian tubuh sebelah kiri
Bersifat berurutan
Bersifat simultan
Mengkhususkan pada teks
Mengkhususkan pada konteks
Menganalisa rincian-rincian (termasuk kategori)
Mensintesiskan keseluruhan perspektif tentang sesuatu (termasuk hubungan)
Karena itu, bagi saya, menjadi pengusaha itu berarti memaksimalkan kedua fungsi otak. Bergantian, berkesinambungan. Jadi seperti gerak jalan aba-abanya: “kiri-kanan-kiri-kanan,tuk-wak-tuk-wak!”
Referensi:
  • Chandra, Purdi E. Cara Gila Jadi Pengusaha: Virus Entrepreneur Jadi Pengusaha Sukses! Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011 (cetakan ke-14).
  • Pink, Daniel H. Misteri Otak Kanan Manusia (diterjemahkan dari A Whole New Mind oleh Rusli). Yogyakarta: Think, 2012 (cetakan ke-24).
  • Santosa, Ippho. 13 Wasiat Terlarang: Dahsyat Dengan Otak Kanan. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012 (cetakan ke-22)
Sumber : http://tdajaksel.com/jadi-pengusaha-hanya-perlu-otak-kanan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Kategori

Sample Text

Terjemahkan

 
Blogger Templates